snow

Kamis, 31 Maret 2011

kesempurnaan hanya milik Allah SWT dan setiap manusia di dunia ini tidak ada yang sempurna tapi saya belajar untuk menjalani hidup ini dan memaknai hidup ini dengan cara yang sempurna..... 

Sabtu, 26 Maret 2011

Al-Fatihah

assalamu'alaikum wr.wb.....
hai teman-teman gamana neh kabar hari ne...???mudah-mudahan semakin baik yach......
"Al-Fatitah" surat ini sering kita baca setiap akan melakukan sholat baik itu sholat wajib ataupun sholat sunnat....surat al-fatihah disebut juga dengan ibu nya al-qur'an atau intisari dari kandungan al-qur'an, mengapa demikian karena dalam surat al-fatihah mencakup tentang persoalan-persoalan mengenai aqidah, syari'ah dan riwayat...

Kamis, 24 Maret 2011

Islam Moral dan Kemanusiaan

ISLAM, MORAL DAN KEMANUSIAAN


A. Latar Belakang
Islam merupakan Agama yang menyampaikan ajaran-ajaran tentang kemanusiaan dan keadilan bagi seluruh umat manusia. Ajaran-ajaran Islam perlu dipahami melalui jalan yang praktis karena fungsi agama ini adalah untuk memberikan solusi-solusi dari semua problema sosial yang ada dalam masyarakat.
Pembicaraan tentang etika kurang begitu berkembang dalam Islam. Justru yang berkembang adalah kajian tentang moralitas melalui sudut pandang fiqih Islam. Moralitas yang menjadi obyek kajian etika Islam masih berbicara seputar etika secara individual, yaitu bagaimana memperbaiki diri dan kepribadian dalam bertutur kata, bersikap, dan berbuat.
Melihat fenomena sosial yang muncul dalam kehidupan sehari-hari, Islam seolah tidak mempunyai konsep-konsep yang indah, bisa kita lihat contoh dalam kehidupan sehari-hari kebanyakan anak-anak sekolah sudah jarang sekali mencium tangan orang tuanya ketika hendak pergi sekolah padahal pada ajaran Islam mengajarkan bahwa kita harus menghormati yang lebih tua apa lagi orang tua kita sendiri dan mengandung makna yang sangat besar.
Melalui tulisan ini kami mengajak kita semua untuk kembali memahami dengan seksama pesan-pesan inti agama, yaitu pesan moral, dan kemudian menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, yang bertujuan untuk transformasi ajaran moral agama Islam ini adalah praktik sosial dalam masyarakat, baik dalam ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya agar tercipta masyarakat yang aman dan tentram.
B. Ruang Lingkup Agama Islam
Secara bahasa kata Islam diturunkan dari akar yang sama dengan kata salām yang berarti “damai”. Kata ‘Muslim’ (sebutan bagi pemeluk agama Islam) juga berhubungan dengan kata Islām, kata tersebut berarti “orang yang berserah diri kepada Allah” dalam bahasa Indonesia. Islam adalah agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah SWT. Islam memiliki arti “penyerahan”, atau penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan (Allah SWT). Pengikut ajaran Islam dikenal dengan sebutan Muslim yang berarti “seorang yang tunduk kepada Tuhan”. Islam mengajarkan bahwa Allah menurunkan firman-Nya kepada manusia melalui para Nabi dan Rasul utusan-Nya, dan meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Nabi dan Rasul terakhir yang diutus ke dunia oleh Allah SWT.
a.      Sumber Ajaran Islam
1.      Al-Qur’an
Sumber ajaran Islam yang utama adalah Al-Qur’an dan Hadits. Umat Islam percaya bahwa Al-Qur’an disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Penurunannya sendiri terjadi secara bertahap antara tahun 610 hingga hingga wafatnya beliau 632 M. Para ulama menyepakati bahwa versi Al-Qur’an yang ada saat ini, pertama kali dikompilasi pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan (khalifah Islam ke-3) yang berkisar antara 650 hingga 656 Masehi. Utsman bin Affan kemudian mengirimkan duplikat dari versi kompilasi ini ke seluruh penjuru kekuasaan Islam pada masa itu dan memerintahkan agar semua versi selain itu dimusnahkan untuk keseragaman.Versi ini dikenal dengan nama Mazhhab Utsmani.
2.      Hadist
Dalam Islam Muhammad SAW tidak diposisikan sebagai seorang pembawa ajaran baru, tetapi merupakan penutup dari rangkaian nabi-nabi yang diturunkan sebelumnya. Nabi Muhammad SAW dalam pandangan Islam adalah seorang manusia biasa namun setiap perkataan dan perilaku dalam kehidupannya merupakan bentuk ideal dari seorang muslim. Oleh karena itu dalam Islam dikenal istilah Hadits yakni kumpulan perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan Muhammad SAW. Hadits secara harfiah berarti perkataan atau percakapan. Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum dibawah Al-Qur’an.
b.      Islam sebagai Agama Moral
Islam adalah agama moral yang memiki fungsi sebagai “jalan kebenaran” untuk memperbaiki kehidupan sosial umat manusia. Memahami Islam secara substantif akan menjadi panduan universal dalam tindakan moral. Memahami Islam tidak hanya sebatas ritual ibadah saja tapi perlu juga dimaknai secara lebih luas yaitu bagaimana usaha kita menjadikan Islam sebagai panduan moral yang murni.
Islam hadir ke dalam sebuah masyarakat diatur melalui prinsip-prinsip moral yang tidak hanya didasarkan oleh iman terhadap kekuasaan Tuhan saja, melainkan didasarkan pada adat yang dihormati sehingga mampu membentuk nilai-nilai masyarakat dan struktur moralnya. Islam sangat mempertegas nilai-nilai kebaikan moral, seperti kesabaran, keramahtamahan, dan kejujuran, yang itu tidak saja ditujukan kepada keluarga terdekat, tapi juga bagi seluruh umat manusia, baik bagi anak yatim, fakir, miskin, dan sebagainya.
Karakter Islam yang terbangun dalam misi pertama adalah ajaran-ajaran yang bernuansa universal, substantif, penuh dengan semangat perlindungan HAM, semangat egaliter dan berisikan sistem yang demokratis. Sedangkan Islam pada masa misi kedua sudah menjadi bangunan keislaman yang cenderung mapan berorientasi penuh ke dalam (in wordly), dan penuh dengan aturan-aturan “syariat” kolektif.
Nabi Muhammad SAW adalah utusan bagi Misi Pertama dan juga diutus untuk Misi Kedua. Allah SWT telah menjelaskan secara detil Misi Pertama dan memberikan secara global Misi Kedua. Untuk memahami Misi Kedua secara terinci dibutuhkan pemahaman baru terhadap Al-Qur’an namun memberikan catatan bahwa pada dasarnya Al-Qur’an itu tidak mungkin dijelaskan secara final. Perjalanan Islam adalah perjalanan secara terus-menerus, tidak mengenal akhir dari proses pencarian. Oleh karena itu, menjalankan Al-Qur’an dalam bingkai Islam berarti melakukan perjalanan menuju Allah secara terus-menerus. Agar bisa menangkap pesan wahyu dan realitas yang tengah diamati maka perlu menyertakan upaya kontekstualiasi pemaknaan secara dinamis. Oleh karena itu, melalui penjelasan tersebut kita bisa memahami bahwa ajaran-ajaran moral atau etika Islam sebagian besar telah ada dalam konstruksi Islam pada masa Mekkah.
c.       Pesan Moral Islam
Allah berfirman dalam Al-Qur’an, Surat Al Ahzaab ayat 21
Artinya: “ Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.
Selanjutnya Rasulullah SAW bersabda yang artinya sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq”. Hadits ini secara tegas menyatakan bahwa Allah mengutus nabi Muhammad SAW adalah untuk menegakkan akhlaq. Dari sini dapat ditarik sebuah pemahaman yang lebih luas bahwa Allah mengutus para nabi dan rasul-Nya tidak lain adalah untuk menegakkan akhlaq atau moral manusia. Untuk memperlancar tugas suci ini Allah memberikan tuntunan melalui wahyu yang kemudian disebut dengan kitab suci.  Ada sebagian kecil ayat yang membicarakan masalah-masalah tersebut, hanyalah prinsip-prinsip dasar yang harus dikembangkan oleh manusia sendiri yang dikaruniai akal. Pesan dasarnya adalah bahwa semua kegiatan tersebut harus dilakukan sesuai dengan pesan moral agama yang terdapat dalam ayat-ayat tersebut.
Hukum adalah jaring terluar sebagai pengawal moral, artinya, minimal manusia menjalankan yang diperintahkan oleh hukum dan meninggalkan hal yang dilarangnya.
d.      Islam Agama Kemanusiaan
Umat Islam meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya jalan keluar dari berbagai masalah yang menimpa dunia dewasa ini. Setiap muslim juga yakin bahwa Islam sangat relevan dalam setiap waktu dan tempat.
Kemajuan teknologi yang demikian pesat ternyata juga menimbulkan masalah yang tidak sederhana. Nilai-nilai yang berkembang pada akhirnya akan membawa kita pada pola hidup yang beragam.  
Pada ayat terakhir yang Allah SWT   yang menyebutkan bahwa Islam diturunkan untuk kepentingan manusia. Ajaran ini diperjelas oleh Rasulullah SAW ketika melaksanakan haji wada’ melalui pidatonya yang mengatakan bahwa turunnya wahyu secara umum memiliki tiga tujuan. Pertama, untuk menyatakan kebenaran. Kedua, untuk melawan penindasan. Dan ketiga, membangun ummat yang didasarkan kesetaraan, keadilan dan kasih sayang. Pada banyak tempat dalam Al-Qur’an juga disebutkan tentang dimensi kemanusiaan Islam. Seperti adanya prinsip humanisasi (kemanusiaan), liberasi (pembebasan), dan transendensi (kepentingan umum). Bahkan orang yang tidak peka terhadap nilai-nilai kemanusiaan disebut sebagai pendusta agama (Q.S Al Maa`un 1-3).
C. Ijtihad Kemanusiaan
Dalam Islam kita mengenal istilah ijtihad, yaitu sebuah upaya sungguh-sungguh mengokohkan ajaran Islam dari sisi ajaran yang dibawanya. Metodologi ijtihad perlu dikembangkan sesuai dengan persoalan zaman yang dihadapinya. Hal ini perlu dilakukan mengingat secara tekstual Al-Qur’an dan Sunnah adalah naskah yang statis, sementara kehidupan manusia senantiasa dinamis dan selalu membutuhkan hal-hal yang baru.
Upaya inilah yang dilakukan oleh para ulama. Mereka menghadapi persoalan modern bukan dengan merubah teks, melainkan melakukan re-interpretasi terhadap teks agar sesuai dengan tuntutan zaman.
Tujuan ijtihad tentu saja tetap pada kerangka awal keberagamaan yaitu menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan modern. Sebagaimana disebutkan Imam Asy Syatibi bahwa tujuan dasar ditetapkannya hukum adalah untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, diantaranya; menjaga agama, menjaga akal, menjaga jiwa, menjaga keturunan, dan menjaga harta. Hal ini semakin mempertegas bahwa kemanusiaan adalah cita-cita luhur dari agama.
D. Azas–azas Kemanusiaan dalam Islam
Dalam Al-Qur’an, Surat Al-Isra’ ayat 70 Allah berfirman:
Artinya : “Telah Kami muliakan anak cucu Adam dan Kami membawa mereka didaratan dan dilautan dan Kami beri mereka rizki dari hal-hal yang baik dan Kami telah lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan dari makhluk yang Kami ciptakan”. (QS. Al-Isra: 70).
Sehubungan dengan kelebihan tersebut, Islam telah meletakkan azas-azas yang akan menjaga hakikat kemanusiaan dalam hubungan antar individu atau antar kelompok.
1.      Saling menghormati dan memuliakan
2.      Menyebarkan kasih sayang
3.      Keadilan & persaman
4.      Perlakuan yang sama
5.      Berlapang dada & toleransi (tasamuh)
6.      Saling tolong menolong
7.      Menepati janji

islam dari aspek filsafat

ISLAM DI TINJAU DARI ASPEK FILSAFAT

A. Pendahuluan
Filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang mempersoalkan hakikat dari segala yang ada. Kata falsafah secara harfiah berasal dari bahasa Arab, yang berasal dari bahasa Yunani philosophia yang berarti cinta kepada pengetahuan atau cinta kepada kebijaksanaan. Selain itu, filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha memautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman – pengalaman manusia. Dalam kamus Umum bahasa Indonesia, Poerwadarminta mengartikan filsafat sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab – sebab, asas – asas, hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada di alam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti “adanya” sesuatu. Pengertian filsafat secara umum yang digunakan adalah pendapat yang dikemukakan Sidi Ghazalba. Menurutnya, filsafat adalah berfikir secara mendalam, sistematik, radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada. Orang yang cinta kepada pengetahuan atau kebijaksanaan disebut philosophos atau dalam bahasa arab failosuf ( filosof).
Dari defenisi tersebut, dapat diketahui bahwa filsafat pada intinya berupaya menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik objek formanya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas dan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik proyek formanya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas dan inti yang terdapat di balik yang bersifat lahiriah. Sebagai contoh, kita jumpai berbagai merk bolpoin dengan kualitas dan harga berlainan, namun intinya sama, yaitu sebagai alat tulis. Ketika disebut alat tulis, tercakuplah semua nama dan jenis bolpoin. Contoh lain, kita jumpai berbagai bentuk rumah dengan kualitas yang berbeda, tetapi intinya adalah sebagai tempat tinggal. Kegiatan berpikir untuk menemukan hakikat itu dilakukan secara mendalam. Lous O.Kattsof mengatakan bahwa kegiatan kefilsafatan ialah merenung. Akan tetapi, merenung bukanlah melamun, juga bukan berfikir secara kebetulan yang bersifat untung – untungan, melainkan dilakukan secara mendalam, radikal, sistematis, dan universal. Mendalam artinya dilakukan sedemikian rupa sehingga dicari sampai batas bahwa akal tidak sanggup lagi. Radikal artinya sampai keakar – akarnya sehingga tidak ada lagi yang tersisa, sistematis maksudnya adalah dilakukan secara teratur dengan menggunakan metode berfikir tertentu, dan universal maksudnya tidak dibatasi hanya pada suatu kepentingan kelompok tertentu, tetapi untuk seluruhnya.

B. Islam di Tinjau dari Aspek Filsafat
Berfikir secara filosofis selanjutnya dapat digunakan dalam memenuhi ajaran agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat, atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara seksama. Pendekatan filosofis sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh para ahli. Buku berjudul Hikmah At-Tasyri’ wa Falsafatuhu yang ditulis oleh Muhammad Al-uirjawi berupa mengungkapkan hikmah yang terdapat di balik ajaran-ajaran agama Islam. Ajaran Islam misalnya mengajarkan seseorang agar melaksanakan shalat berjama’ah. Tujuannya antara lain agar seseorang merasakan hikmah hidup secara berdampingan dengan orang lain. Dengan mengerjakan puasa misalnya, seseorang dapat merasakan lapar yang selanjutnya menimbulkan rasa iba dengan sesamanya yang hidup serba kekurangan. Demikian pula, ibadah haji yang dilaksanakan di kota Mekah, dalam waktu yang bersamaan, dengan bentuk dan gerak ibadah (manasik) yang sama dengan yang dikerjakan lainnya dimaksudkan agar orang yang mengerjakan berpandangan luas, merasakan bersaudara dengan sesame muslim dari seluruh dunia. Thawaf yang dikerjakan mengandung makna bahwa hidup harus tertuju sebagai ibadah kepada Allah semata.
Mengerjakan sa’i, yakni lari – lari kecil menggambarkan bahwa hidup tidak boleh putus asa, terus mencoba. Dimulai dari Bukit Shafa yang artinya bersih dan berakhir pada Bukit Marwa yang artinya berkembang. Dengan demikian, hidup ini harus diisi dengan perjuangan yang didasarkan pada tujuan dan niat yang bersih sehingga dapat memperoleh keberkahan. Sementara itu, wukuf di Arafah maksudnya adalah saling mengenal sesama saudaranya dari berbagai belahan dunia. Demikian pula, melontarkan jamarat dimaksudkan agar seseorang dapat membuang sifat – sifat negatif yang ada dalam dirinya untuk diganti dengan sifat-sifat positif dan mengenakan pakaian serba putih maksudnya agar seseorang mengutamakan kesederhanaan, kesahajaan, dan serba bersih jiwanya sehingga tidak mengganggu hubungannya dengan Tuhan.
Demikian pula, kita membaca sejarah kehidupan para nabi terdahulu, maksudnya bukan sekedar menjadi tontonan atau sekedar mengenalnya. Akan tetapi, bersamaan dengan itu, perlu ada kemampuan menangkap makna filosofis yang terkandung di belakang peristiwa tersebut. Kisah nabi Yusuf as yang digoda seorang perempuan bangsawan, secara lahiriah menggambarkan kisah yang bertema pornografi atau kecabulan. Kesimpulan itu terjadi manakala seseorang hanya memahami bentuk lahiriah dari kisah tersebut. Akan tetapi, sebenarnya melalui kisah tersebut, Tuhan ingin mengajarkan kepada manusia agar memiliki ketampanan lahiriah dan bathiniah secara prima. Nabi Yusuf as telah menunjukkan kesanggupannya dengan mengendalikan farjinya dari berbuat maksiat.
Sementara secara lahiriah, ia tampan dan menyenangkan orang yang melihatnya. Makna demikian dapat dijumpai melalui pendekatan yang dapat bersifata filosofis. Dengan menggunakan pendekatan filosofis ini, seseorang dapat member makna terhadap sesuatu yang dijumpainya dan dapat pula menangkap hikmah dan ajaran yang terkandung di dalamnya. Dengan cara demikian, ketika seseorang mengerjakan suatu amal ibadah, ia tidak akan merasakan kekeringan spiritual yang dapat menimbulkan kebosanan. Semakin mampu menggali makna filosofis dari suatu ajaran agama, maka semakin meningkat pula sikap, penghayatan, dan daya spritualitas yang dimiliki seseorang.
Pendekatan filosofis ini begitu penting dalam dunia pengetahuan, hal ini dapat kita jumpai bahwa filsafat telah digunakan untuk memahami berbagai bidang lain selain agama. Misalnya filsafat pendidikan, filsafat hokum Islam, filsafat kebudayaan, filsafat ekonomi, dan lain – lain.
Melalui pendekatan filosofis ini, seseorang tidak akan terjebak pada pengamalan agama formalistik, yakni mengamalkan agama dengan susah payah, tetapi tidak memiliki makna apa – apa, kosong tanpa arti. Yang mereka dapatkan dari pengalaman agama tersebut hanyalah pengakuan formalistik. Misalnya sudah haji, sudah menunaikan rukun Islam yang kelima dan berhenti sampai di situ. Mereka tidak dapat merasakan nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya.
Namun demikian, pendekatan filosofis ini tidak berarti menafikan atau menyepelekan bentuk pengalaman agama yang bersifat formal. Filsafat mempelajari segi bathin yang bersifat esotrik. Bentuk atau kulit itulah yang disebut aspek esotrik dan agama-agama dan manifestasinya dalam dunia ini menjadi religious sedangkan kebenaran yang bersifat absolut, universal, dan metahistoris adalah Religion, dan pada titik Religion inilah, titik persamaan yang sungguh-sungguh akan dicapai.
Tampak pandangan filsafat yang bercorak perenialis secara metologis memberikan harapan segar terhadap dialog antara umat beragama. Sebab melalui metode ini sesame umat beragama diharapkan menemukan transcendent unity or religion, dan dapat mendiskusikan secara lebih mendalam. Dengan demikian, terbukalah kebenaran yang hakiki. Lalu tersingkirlah kesesatan yang betul-betul sesat, meskipun tetap dalam lingkup langit kerelatifan. Dalam kedua kebenaran dan kesesatan mungkin saja terjadi pada sikap kita atau suatu kelompok tertentu yang seakan berada di posisi paling atas sehingga mengklaim yang lain sebagai berada di bawah.
Pendekatan filosofis yang bercorak perennialis ini, walaupun secara teoritis memberikan harapan dan kesejukan, belum secara luas dipahami dan diterima, kecuali oleh sekelompok kecil saja. Menurut Nasr, mengapa hanya oleh segelintir orang? Jawabannya dapat dicari dalam hakikat filsafat perennial itu sendiri. Untuk mengikuti aliran ini, seorang sarjana tidak cukup mengabdikan pikiran saja, melainkan seluruh kehidupannya. Ia menuntut suatu penghayatan total, bukan hanya sebatas studi akademis terhadap persoalan agama. Bagi aliran ini, studi agama adalah aktivitas keagamaan itu sendiri, dan mempunyai makna keagamaan. Semua studi agama hanya bermakna kalau ia memiliki makna keagamaan.
Islam sebagai agama yang banyak menyuruh penganutnya mempergunakan akal pikiran sudah dapat dipastikan sangat memerlukan pendekatan filosofis dalam memahami ajaran agamanya, yang contoh-contohnya telah dikemukakan diatas. Namun demikian, pendekatan seperti ini masih belum diterima terutama oleh kaum tradisionalis formalistis yang cenderung memahami agama terbatas pada ketepatan melaksanakan aturan-aturan formalistik dari pengalaman agama.
1. Tinjauan Al Qur’an tentang Filsafat.
Al-Qur’an sejak semula telah memerintahkan umat manusia untuk menggunakan akalnya, khususnya untuk menyingkap rahasia alam semesta yang akan menghantarkan manusia kepada keyakinan tentang adanya Tuhan yang menciptakan dan memeliharanya. Keyakinan kepada adanya Tuhan harus didasarkan atas kesadaran akal, bukan sekedar keasadaran yang bersifat teradisional yakni melestarikan warisan nenek moyang betapapun corak dan konsepnya.
Siapa saja yang meneliti sejarah Islam dengan berbagai sumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, qiyas syar’I, Ijma’ yang diakui, ijtihad dan tafsir yang benar yang dibuat ulama-ulama kita yang saleh sepanjang zaman, akan terdapat pada setiap hal itu akan membentuk fikiran yang menyeluruh dan berpadu tentang alam jagat, manusia, masyarakat dan bangsa, pengetahuan kemanusiaan, dan akhlak. Mungkin tidak dapat hal itu membentuknya sifat universal dan berpadui ini jika dicarinya pada falsafah-falsafah ciptaan manusia, baik yang lama atau baru. Selain itu orang yang mengkaji tentang Islam pada berbagai sumbernya dengan kesadaran dan mendalam akan keluar dengan pikiran universal dan berpadu tentang falsafah wujud, falsafah pengetahuan, dan falsafah nilai-nilai.
Akal adalah potensi luar biasa yang dianugerahkan Allah kepada manusia, karena dengan akalnya manusia memperoleh pengetahuan tentang berbagai hal. Sangat banyak ayat Al-Qur’an yang memerintahkan manusia menggunakan akalnya untuk berpikir. Memikirkan alam semesta, memikirkan diri sendiri, memikirkan pranata atau lembaga-lembaga social, dan lain sebagainya dengan tujuan agar perjalanan hidup di dunia dapat ditempuh setepat-tepatnya sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang akan kembali kepadaNya serta memetik hasil tanaman amal perbuatannya sendiri di dunia baik sebagai abdi maupun sebagai khalifah-Nya di bumi.
Beberapa contoh ayat Al-Qur’an yang memerintahkan manusia berpikir tentang alam, diri sendiri, umat terdahulu dan pranata social.
a. Berpikir tentang alam.
 Dalam surat Ali Imran (3) ayat 190, Allah berfirman:
b. Berpikir tentang diri sendiri.
          Dalam surat Ar-Rum(30) ayat 8 , Allah berfirman:
c. Berpikir tentang umat terdahulu.
    Dalam surat Al Mukmin/Al Ghafir (40) ayat 21, Allah berfirman:
d. Berpikir tentang pranata (lembaga).
    Dalam surat Ar-Rum(30) ayat 21, Allah berfirman:

2. Filosof – Filosof Muslim.
Adapun nama – nama filosof muslim yang terkenal adalah sebagai berikut:
a.       Al Kindi merupakan filosof muslim pertama pada pertengahan abad IX M / abad III H.
b.      Al Farabi, Ibnu Sina, menulis dalam "al-Isharat" bahwa, "Filsafat latihan intelek, memungkinkan manusia untuk mengetahui Menjadi seperti yang dalam dirinya sendiri. Ini merupakan kewajiban manusia untuk melakukan hal ini dengan latihan intelek nya, sehingga ia dapat memuliakan jiwanya dan membuatnya sempurna, dan mungkin menjadi ilmuwan rasional, dan mendapatkan kapasitas kebahagiaan abadi di akhirat." Pada zaman inilah merupakan puncak kejayaan filsafat Islam.
c.       Ibnu Rusyd, sekitar abad ke XII M. pada masa ini terjadi polemic antara Ibunu Rusyd dengan Al Ghazali, perhatian orang terhadap filsafat makin berkurang di kalangan sunni.
d.      Mulla Sadra seorang filosof yang lahir dari kalangan syiah pada 1640 M/1050H.
 C. Penutup
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa :
  1. Pengertian filsafat adalah berfikir secara mendalam, sistematik, radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.
  2. Islam di tinjau dari aspek Filsafat, menyangkut tentang pendalaman secara mendalam, sistematik, radikal untuk mencari kebenaran ajaran Islam yang berkaitan dengan rukun Islam, Rukun Iman, serta hubungan antara ma.nusia dengan Allah, Manusia dan alam sekitarnya.
  3. Tokoh tokoh yang membahas ilmu filsafat yang dikaitkan dengan ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits. Adapun filosof yang terkenalm di dunia Islam adalah Al Faraby, Ibnu Rusydi, Ibnu Sina, dan terakhir yaitu Mulia Sadra.
    Demikian makalah ini semoga dapat bermanfaat bagi kita dalam mempelajari Ilmu pengetahuan melalui Mata Kuliah Metode Studi Islam.

Ibnu Maskawih

IBNU MASKAWIH
1.      Riwayat Hidup Ibnu Maskawaih
Maskawaih adalah salah seorang tokoh filsafat dalam Islam yang memusatkan perhatiannya pada etika Islam. Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Khasim Ahmad bin Ya’qub bin Maskawaih. Sebutan namanya yang lebih masyhur adalah Maskawaih atau Ibnu Maskawaih. Nama tersebut diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi kemudian masuk Islam. Ibnu maskawaih dijuluki dengan gelar Abu Ali, yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum Syi’ah dipandang sebagai yang berhak menggantikan nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam sepeninggalnya. Gelar ini juga sering disebutkan, yaitu al-Khazim yang berarti bendaharawan.
Pada masa Maskawaih masih dalam kandungan, ayahnya meninggal dunia. Maskawaih dilahirkan di Ray (Teheran sekarang) mengenai tahun kelahirannya, para penulis menyebutkan berbeda-beda, MM Syarif menyebutkan tahun 320 H/932 M. Morgoliouth menyebutkan tahun 330 H. Abdul Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H. Ia dibesarkan oleh ibunya sampai menginjak usia 13 tahun setelah itu, bekerja dan tinggal bersama Abu Fadl Ibn Al-‘Amid sebagai pustakawannya selama tujuh tahun. Disamping itu ia juga bertugas sebagai guru privat bagi putra Al-‘Amid, sedangkan tugas pokoknya adalah sebagai pustakawan. Ia juga pernah mengabdi pada ‘Adud al-Daulah, salah seorang keturunan Bani Buwaih, dan kepada beberapa penguasa yang lain dari keluarga terkenal. Ibnu Maskawih wafat pada 9 shafar 421 H/16 Februari 1030 M.
Ibnu Maskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas yang beraliran Syi’ah dan berasal dari keturunan Parsi Bani Buwaihi. Perhatiannya amat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan, dan pada masa inilah Maskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi bendaharawan ‘Adhud al Daulah. Juga pada masa ini Maskawaih muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan, dan pujangga. Tapi, disamping itu ada hal yang tidak menyenangkan hati Maskawaih, yaitu kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Oleh karena itulah agaknya Maskawaih lalu tertarik untuk menitikberatkan perhatiannya pada bidang etika Islam.
Ibnu Maskawaih tidak hanya dikenal sebagai seorang pemikir (filosof), tetapi ia juga seorang penulis yang produktif. Mengenai sejak kapan ia menulis, tidak terdapat informasi yang dapat dijadikan rujukan yang pasti. Dalam buku The History of the Muslim Philosophy disebutkan beberapa karya tulisnya, yaitu:
a.       Al-Fauz Al-Akbar
b.      Al-Fauz Al-Asghar
c.       Tajarib Al-Umam (sebuah sejarah tentang banjir besar yang ditulisnya pada tahun 369 H/979 M)
d.      Uns Al-Farid (koleksi anekdot, syair, peribahasa, dan kata-kata hikmah
e.       Tartib Al-Sa’adat (isinya akhlak dan politik
f.       Al-Mustaufa (isinya syair-syair pilihan)
g.      Jawidan Khirad (koleksi ungkapan bijak)
h.      Al-Jami’
i.        Al-Siyab
j.        On the Simple Drugs (tentang kedokteran)
k.      On the Compisition of the Bajats (seni memasak)
l.        Kitab Al-Ashribah (tentang minuman)
m.    Tahzib Al-Akhlak (tentang akhlak)
n.      Risalat fi Al-Lazzat wa Al-Alam fi Jauhar Al-Nafs
o.      Ajwibat wa As’ilat fi Al-Nafs wa Al-‘Aql
p.      Al-Jawab fi Al-Masail Al-Salas
q.      Risalat fi Jawab fi Su’al Ali Ibn Muhammad Abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqat al-‘Aql
r.        Thaharat Al-Nahs, Karya tulis tersebut masih dapat ditemukan hingga sekarang, di samping juga ada kurang lebih 15 (lima belas) buah artikel dan makalah. Dan masih ada kurang lebih 19 buah karya tulis yang sekarang sudah tidak dapat ditemukan lagi.
2.      Pemikiran Filsafat Ibnu Maskawaih
a.      Filsafat Jiwa (al nafs)
Menurut Ibnu Maskawaih, Jiwa berasal dari limpahan akal aktif (‘aqlfa’al). jiwa bersifat rohani, suatu substansi yang sederhana yang tidak dapat diraba oleh salah satu panca indera.
Jiwa tidak bersifat material, ini dibuktikan Ibnu Maskawaih dengan adanya kemungkinan jiwa dapat menerima gambaran-gambaran tentang banyak hal yang bertentangan satu dengan yang lain. Misalnya, jiwa dapat menerima gambaran konsep putih dan hitam dalam waktu yang sama, sedangkan materi hanya dapat menerima dalam satu waktu putih atau hitam saja. Jiwa dapat menerima gambaran segala sesuatu, baik yang indrawi maupun yang spiritual. Daya pengenalan dan kemampuan jiwa lebih jauh jangkauannya dibanding daya pengenalan dan kemampuan materi. Bahkan dunia materi semuanya tidak akan sanggup memberi kepuasan kepada jiwa.
Lebih dari itu, di dalam jiwa terdapat daya pengenalan akal yang tidak didahului dengan pengenalan inderawi. Dengan daya pengenalan akal itu, jiwa mampu membedakan antara yang benar dan yang tidak benar berkaitan dengan hal-hal yang diperoleh panca indera. Perbedaan itu dilakukan dengan jalan membanding-bandingkan obyek-obyek inderawi yang satu dengan yang lain dan membeda-bedakannya.
Dengan demikian, jiwa bertindak sebagai pembimbing panca indera dan membetulkan kekeliruan yang dialami panca indera. Kesatuan aqliyah jiwa tercermin secara amat jelas, yaitu bahwa jiwa itu mengetahui dirinya sendiri, dan mengetahui bahwa ia mengetahui dirinya, dengan demikian jiwa merupakan kesatuan yang di dalamnya terkumpul unsur-unsur akal, subyek yang berpikir dan obyek-obyek yang dipikirkan, dan ketiga-tiganya merupakan sesuatu yang satu.
Ibnu Maskawaih menonjolkan kelebihan jiwa manusia atas jiwa binatang dengan adanya kekuatan berfikir yang menjadi sumber pertimbangan tingkah laku, yang selalu mengarah kepada kebaikan. Lebih jauh menurutnya, jiwa manusia mempunyai tiga kekuatan yang bertingkat-tingkat. Dari tingkat yang paling rendah disebutkan urutannya sebagai berikut:
1) Al nafs al bahimiyah (nafsu kebinatangan) yang buruk.
2) Al nafs al sabu’iah (nafsu binatang buas) yang sedang
3) Al nafs al nathiqah (jiwa yang cerdas) yang baik.
Manusia dikatakan menjadi manusia yang sebenarnya jika ia memiliki jiwa yan cerdas. Dengan jiwa yang cerdas itu, manusia terangkat derajatnya, setingkat malaikat, dan dengan jiwa yang cerdas itu pula manusia dibedakan dari binatang. Manusia yang paling mulia adalah manusia yang paling besar kadar jiwa cerdasnya, dan dalam hidupnya selalu cenderung mengikuti ajakan jiwa yang cerdas itu. Manusia yang dikuasai hidupnya oleh dua jiwa lainnya (kebinatangan dan binatang buas), maka turunlah derajatnya dari derajat kemanusiaan.
Berkenaan dengan kualitas dari tingkatan-tingkatan jiwa yang tiga macam tersebut, Maskawaih mengatakan bahwa jiwa yang rendah atau buruk mempunyai sifat ‘ujub, sombong, pengolok-olok, penipu dan hina dina. Sedangkan jiwa yang cerdas mempunyai sifat-sifat adil, harga diri, berani, pemurah, benar, dan cinta.
b.      Filsafat Akhlaq
Teori Maskawaih tentang etika dituangkan dalam kitabnya yang berjudul Tahzib al Akhlaq wa That-hir al ‘Araq (Pendidikan budi pekerti dan pembersihan watak).
Kata akhlaq adalah bentuk jamak dari kata khuluq. Ibnu Maskawaih memberikan pengertian khuluq sebagai keadaan jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan sebelumnya.
Dengan kata lain, khuluq merupakan keadaan jiwa yang mendorong timbulnya perbuatan secara spontan. Keadaan jiwa tersebut bisa merupakan fitrah sejak kecil, dan dapat pula berupa hasil latihan membiasakan diri, hingga menjadi sifat kejiwaan yang dapat melahirkan perbuatan baik.
Dari pengertian itu dapat dimengerti bahwa manusia dapat berusaha mengubah watak kejiwaan pembawa fitrahnya yang tidak baik menjadi baik. Manusia dapat mempunyai khuluq yang bermacam-macam baik secara cepat maupun lambat. Hal ini dapat dibuktikan pada perubahan-perubahan yang dialami anak dalam masa pertumbuhannya dari satu keadaan kepada keadaan lain sesuai dengan lingkungan yang mengelilinginya dan macam pendidikan yang diperolehnya.
Pemikiran Ibnu Maskawaih juga tidak hanya terfokus pada filsafat jiwa dan akhlaq saja, akan tetapi Ibnu Maskawaih juga memperhatikan pendidikan mulai sejak dini atau mulai pada masa anak-anak. Dalam salah satu karyanya, Tahdhib al-Akhlaq cendekiawan Muslim asal Ray Persia ini menyatakan, pendidikan menunjukkan tugas dan kewajiban yang harus dilakukan orang dewasa, terutama orang tua kepada anak-anaknya.
Orang tua wajib memberikan pendidikan kepada anak-anaknya, yang berisi pengetahuan, moralitas, adat istiadat, dan perilaku yang baik ini  semua bertujuan untuk mempersiapkan mereka agar menjadi manusia yang baik. Jika  anak-anak itu menjelma menjadi manusia dewasa yang baik, akan memberikan manfaat bagi masyarakatnya. Mereka pun akan diterima secara baik oleh masyarakatnya. Miskawaih menambahkan, pendidikan memang bertujuan menyempurnakan karakter manusia.

Selain memberikan pendidikan mengenai kebaikan, Miskawaih menekankan pula agar sejak dini orang tua mengarahkan buah hatinya berada dalam lingkungan yang baik. Orang tua harus membiasakan anak-anaknya bergaul dan berteman dengan orang-orang berperilaku baik.
Miskawaih memberikan alasan mengapa ia menekankan pentingnya lingkungan yang baik, yaitu:
1.      Tidak semua orang dapat dengan cepat menerima kebaikan yang diajarkan kepadanya.
2.      Lingkungan yang baik akan mencegah mereka yang lamban, bisa terhindar dari kejahatan.
3.      Mereka yang lamban, harus terus-menerus mendapatkan pendidikan tentang kebaikan.
4.      Setiap orang dapat berubah asalkan mendapatkan pendidikan secara terus-menerus tentang kebaikan.
Pemikiran Miskawaih itu tersurat dalam kedua bukunya yang berjudul,  Tahdhib al-Akhlaq. Miskawaih mengatakan, pendidikan sejak dini terhadap anak-anak memiliki arti penting. Selain menanamkan kebaikan sejak dini, juga bisa sebagai sarana pembentuk karakter.
Menurut Miskawaih, tidak mudah bagi seseorang yang telah dewasa untuk mengubah karakternya. Kecuali, dalam kondisi tertentu. Misalnya, orang tersebut sadar dan menyesal atas perilaku dan moralnya yang buruk selama ini.
Miskawaih mengungkapkan, seseorang yang berusaha  memperbaiki karakternya, memurnikan jiwanya yang kotor, dan membebaskan dirinya dari kebiasaan jahat, karena pada dasarnya semua orang itu baik.
Miskawaih menegaskan pula, mereka akan tetap menjadi baik karena adanya hukum dan pendidikan. Juga, ada pelatihan dan pembiasaan terhadap mereka sejak kanak-kanak, agar mereka selalu menjalankan kebaikan sesuai fitrahnya.

Ibnu Maskawaih menyebutkan ada beberapa hal buruk yang harus dihilangkan sejak anak-anak supaya mereka tidak menderita ketika dewasa:
1.      Pertama
2.      Malas
3.      Menganggur
4.      Menyiakan hidup tanpa kerja apa pun. Intinya, manusia tanpa manfaat
5.      Kebodohan
6.      Ketidaktahuan yang disebabkan oleh kegagalan untuk mempelajari
7.      Melatih diri dengan ajaran-ajaran yang diucapkan oleh orang-orang bijak
8.      Bersikap kurang ajar dan tak tahu sopan santun
9.      Rasa asyik dan keadaan terbiasa dengan perbuatan buruk karena seringnya melakukan perbuatan tersebut.
Miskawaih mengatakan, untuk menghilangkan setiap karakteristik buruk di atas, dibutuhkan pendidikan atau pelatihan yang dilakukan secara terus-menerus. Hanya orang cerdas, yang dapat menyembuhkan dirinya sendiri dari karakter buruk tersebut.
Miskawaih dan Metode Pendidikan, Ibnu Miskawaih juga mengenalkan sejumlah langkah yang akan melahirkan aspek positif dalam mendidik. Ia, misalnya, memandang penting pemberian pujian, memberikan pujian kepada orang dewasa yang melakukan perbuatan baik di hadapan anak-anak bertujuan memberikan mencontoh sikap terpuji yang dilakukan oleh orang dewasa tersebut. Selain pujian, ia juga memberi saran untuk mendorong anak menyukai makanan, minuman, dan pakaian yang baik. Namun, perlu diingatkan pula agar tidak makan, minum, dan berpakaian secara berlebihan.












konsep a'kad

KONSEP AKAD ATAU TRANSAKSI DALAM FIQIH MUAMALAH
LAELATUL JANNAH
A.    Latar Belakang

Kehidupan manusia tidak akan terlepas dari bantuan orang lain itu dikarenakan  manusia adalah makhluk sosial dimana dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia tidak akan mampu melakukannya sendiri contohnya saja jika kita memerlukan pakaian, maka banyak orang yang telibat didalamnya sehingga sampai ke tangan kita.
Untuk mendapatkan semua kebutuhan hidupnya manusia harus berkomunikasi dengan orang lain, dalam komunikasi ini terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya yang berdasarkan kesepakatan bersama sesuai dengan kebutuhan atau transaksinya, proses ini disebut dengan akad antara kedua belah pihak atas sesuatu hal.
Dalam kesempatan ini saya akan mencoba untuk membahas mengenai akad dalam fiqih karena akad itu sangat diperlukan untuk semua aspek guna menghindari adanya ketidak sesuaian antara orang yang bertransaksi dan menemukan jalan yang dikehendaki oleh orang yang bertransaksi sehingga tercapai kesepakatan.
Akad merupakan bagian dari macam-macam tasharruf, tasharruf adalah segala yang keluar dari seseorang manusia dengan kehendaknya dan syara’ menetapkan beberapa haknya.
B.     Pengertian Akad
Secara bahasa kata “akad” berasal dari bahasa arab yaitu عَقَََدَ يََعْقِدُ عََََقْدًا yang berarti perjanjian atau persetujuan. Kata ini juga bisa diartikan tali yang mengikat karena akan adanya ikatan antara orang yang berakad. Dalam kitab fiqih sunnah, kata akad diartikan dengan hubungan ( الرّبْطُُ ) dan kesepakatan ( الاِتِفَاقْ ).
Akad juga memiliki beberapa arti yaitu:
1.      Mengikat adalah mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah satunya dengan yang lain sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi sebagai sepotong benda.
2.      Sambungan adalah sambungan yang memegang kedua ujung itu dan mengikatnya.
3.      Janji adalah sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 76 dan surat al-maidah ayat 1 :
Sedangkan secara istilah ulama fiqih, akad dapat ditinjau dari segi umum dan segi khusus. Dari segi umum, pengertian akad sama dengan pengertian akad dari segi bahasa menurut ulama Syafi'iyah, Hanafiyah, dan Hanabilah yaitu segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginanannya sendiri seperti waqaf, talak, pembebasan, dan segala sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli, perwakilan, dan gadai. Sedangkan dari segi khusus yang dikemukakan oleh ulama fiqih antara lain:
1.      Perikatan yang ditetapkan dengan ijab-qabul berdasarkan ketentuan syara' yang berdampak pada objeknya.
2.      Keterkaitan ucapan antara orang yang berakad secara syara' pada segi yang tampak dan berdampak pada objeknya.
3.      Terkumpulnya adanya serah terima atau sesuatu yang menunjukan adanya serah terima yang disertai dengan kekuatan hukum.
4.      Perikatan ijab qabul yang dibenarkan syara' yang menetapkan keridhaan kedua belah pihak.
5.      Berkumpulnya serah terima diantara kedua belah pihak atau perkataan seseorang yang berpengaruh pada kedua belah pihak.
C. Rukun Akad
1. Aqid (Orang yang Menyelenggarakan Akad)
Ulama fiqh memberikan persyaratan atau criteria yang harus dipenuhi oleh aqid antara lain:
•  Ahliyah; Keduanya memiliki kecakapan dan kepatutan untuk melakukan transaksi. Biasanya mereka akan memiliki ahliyah jika telah baligh atau mumayyiz dan berakal. Berakal disini adalah tidak gila sehingga mampu memahami ucapan orang-orang normal. Sedangkan mumayyiz disini artinya mampu membedakan antara baik dan buruk, antara yang berbahaya dan tidak berbahaya dan antara merugikan dan menguntungkan.
•  Wilayah; Wilayah bisa diartikan sebagai hak dan kewenangan seseorang yang mendapatkan legalitas syar'i untuk melakukan transaksi atas suatu obyek tertentu. Artinya orang tersebut memang merupakan pemilik asli, wali atau wakil atas suatu obyek transaksi, sehingga ia memiliki hak dan otoritas untuk mentransaksikannya. Dan yang terpenting, orang yang melakukan akad harus bebas dari tekanan sehingga mampu mengekspresikan pilihannya secara bebas.
2. Ma'qud ‘Alaih (objek transaksi)
Ma'qud ‘Alaih harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :
1.      Obyek transaksi harus ada ketika akad atau kontrak sedang dilakukan.
2.      Obyek transaksi harus berupa mal mutaqawwim (harta yang diperbolehkan syara' untuk ditransaksikan) dan dimiliki penuh oleh pemiliknya.
3.      Obyek transaksi bisa diserahterimakan saat terjadinya akad, atau dimungkinkan dikemudian hari.
4.      Adanya kejelasan tentang obyek transaksi.
5.      Obyek transaksi harus suci, tidak terkena najis dan bukan barang najis.
3. Shighat, yaitu Ijab dan Qobul 
Ijab Qobul merupakan ungkapan yang menunjukkan kerelaan atau kesepakatan dua pihak yang melakukan kontrak atau akad. Definisi ijab menurut ulama Hanafiyah adalah penetapan perbuatan tertentu yang menunjukkan keridhaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik yang menyerahkan maupun menerima, sedangkan qobul adalah orang yang berkata setelah orang yang mengucapkan ijab, yang menunjukkan keridhaan atas ucapan orang yang pertama. Menurut ulama selain Hanafiyah, ijab adalah pernyataan yang keluar dari orang yang menyerahkan benda, baik dikatakan oleh orang pertama atau kedua, sedangkan Qobul adalah pernyataan dari orang yang menerima.
Dari dua pernyataan definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa akad Ijab Qobul merupakan ungkapan antara kedua belah pihak yang melakukan transaksi atau kontrak atas suatu hal yang dengan kesepakatan itu maka akan terjadi pemindahan ha kantar kedua pihak tersebut.
Dalam ijab qobul terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, ulama fiqh menuliskannya sebagai berikut :
1.      Adanya kejelasan maksud antara kedua belah pihak.
2.      Adanya kesesuaian antara ijab dan qobul
3.      Adanya pertemuan antara ijab dan qobul (berurutan dan menyambung).
4.      Adanya satu majlis akad dan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak, tidak menunjukkan penolakan dan pembatalan dari keduannya.
Ijab Qobul akan dinyatakan batal apabila :
a. Penjual menarik kembali ucapannya sebelum terdapat qobul dari si pembeli.
b. Adanya penolakan ijab dari si pembeli.
c. Berakhirnya majlis akad. Jika kedua pihak belum ada kesepakatan, namun keduanya telah pisah dari majlis akad. Ijab dan qobul dianggap batal.
d. Kedua pihak atau salah satu, hilang ahliyah -nya sebelum terjadi kesepakatan
e. Rusaknya objek transaksi sebelum terjadinya qobul atau kesepakatan.
D. Syarat-Syarat Akad
a. Syarat terjadinya akad
Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam setiap akad adalah:
1.      Pelaku akad cakap bertindak (ahli).
2.      Yang dujadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
3.      Akad itu diperbolehkan syara' dilakukan oleh orang yang berhak melakukannya walaupun bukan aqid yang memiliki barang.
4.      Akad dapat memberikan faidah sehingga tidak sah bila rahn dianggap imbangan amanah.
5.      Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul. Oleh karenanya akad menjadi batal bila ijab dicabut kembali sebelum adanya kabul.
6.      Ijab dan kabul harus bersambung, sehingga bila orang yang berijab berpisah sebelum adanya qabul, maka akad menjadi batal.
b. Syarat Pelaksanaan akad
                Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat yaitu kepemilikan dan kekuasaan. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas beraktivitas dengan apa-apa yang dimilikinya sesuai dengan aturan syara'. Adapun kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam ber-tasharuf sesuai dengan ketentuan syara'.
c. Syarat Kepastian Akad (luzum)
                Dasar dalam akad adalah kepastian. Seperti contoh dalam jual beli, seperti khiyar syarat, khiyar aib, dan lain-lain. Jika luzum Nampak maka akad batal atau dikembalikan.
Dalam pelaksanaan akad akan dikatakan benar jika dalam akad tersebut telah terpenuhi semua rukun dan syaratnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku (Syara). Jika tidak terpenuhi atau terdapat kesamaran maka akad tidak akan terjadi.
E. Macam-Macam Akad
Pembagian akad dibedakan menjadi beberapa bagian berdasarkan sudut pandang yang berbeda, yaitu:
1.      Akad munjiz yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada waktu selesainya akad. Pernyataan akad yang diikuti dengan pelaksaan akad adalah pernyataan yang disertai dengan syarat-syarat dan tidak pula ditentukan waktu pelaksanaan adanya akad.
2.      Akad mu'alaq adalah akad yang di dalam pelaksaannya terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad, misalnya penentuan penyerahan barang-barang yang diakadkan setelah adanya pembayaran.
3.      Aqad mudhaf merupakan akad yang dalam pelaksanaanya terdapat syarat-syarat mengenai penanggulangan pelaksanaan akad.
Perwujudan akad akan tampak nyata pada dua keadaan yaitu:
a.       Bersepakat secara rahasia sebelum melakukan akad.
b.      Mu’awadlah terhadap benda yang digunakan untuk akad.
c.       Mu’wadlah pada pelaku adalah seseorang yang secara lahiriah membeli sesuatu atas namanya sendiri, secara bathiniyah untuk keperluan orang lain.
a. Berdasarkan ketentuan syara'
•  Akad shahih
                akad shahih adalah akad yang memenuhi unsur dan syarat yang ditetapkan oleh syara'. Dalam istilah ulama Hanafiyah, akad shahih adalah akad yang memenuhi ketentuan syara' pada asalnya dan sifatnya.
•  Akad tidak shahih
              Akad shahih adalah akad yang tidak memenuhi unsur dan syarat yang ditetapkan oleh syara'. Dengan demikian, akad ini tidak berdampak hukum atau tidak sah. Jumhur ulama selain Hanafiyah menetapkan akad bathil dan fasid termasuk ke dalam jenis akad tidak shahih, sedangkan ulama Hanafiyah membedakan antara fasid dengan batal.
b. Berdasarkan ada dan tidak adanya qismah
•  Akad musamah , yaitu akad yang telah ditetapkan syara' dan telah ada hukum-hukumnya, seperti jual beli, hibah, dan ijarah.
•  Ghair musamah yaitu akad yang belum ditetapkan oleh syara' dan belum ditetapkan hukumnya.
c. Berdasarkan zat benda yang diakadkan
•  Benda yang berwujud
•  Benda tidak berwujud.
d. Berdasarkan disyariatkan atau tidaknya akad
•  Akad musyara'ah ialah akad-akad yang debenarkan syara' seperti gadai dan jual beli.
•  Akad mamnu'ah ialah akad-akad yang dilarang syara' seperti menjual anak kambing dalam perut ibunya.
e. Berdasarkan sifat benda yang menjadi objek dalam akad
•  Akad ainniyah ialah akad yang disyaratkan dengan penyerahan barang seperti jual beli.
•  Akad ghair ‘ainiyah ialah akad yang tidak disertai dengan penyerahan barang-barang karena tanpa penyerahan barang
pun akad sudah sah.

f. Berdasarkan cara melakukannya
•  Akad yang harus dilaksanakan dengan upacara tertentu seperti akad pernikahan dihadiri oleh dua saksi, wali, dan petugas pencatat nikah.
•  Akad ridhaiyah ialah akad yang dilakukan tanpa upacara tertentu dan terjadi karena keridhaan dua belah pihak seperti akad-akad pada umumnya.
g. Berdasarkan berlaku atau tidaknya akad
•  Akad nafidzah , yaitu akad yang bebas atau terlepas dari penghalang-penghalang akad
•  Akad mauqufah , yaitu akad –akad yang bertalian dengan persetujuan-persetujuan seperti akad fudluli (akad yang berlaku setelah disetujui pemilik harta)
h.      Berdasarkan luzum dan dapat dibatalkan
•  Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak yang tidak dapat dipindahkan seperti akad nikah. Manfaat perkawinan, seperti bersetubuh, tidak bisa dipindahkan kepada orang lain. Akan tetapi, akad nikah bisa diakhiri dengan dengan cara yang dibenarkan syara'
•  Akad lazim yang menjadi hak kedua belah pihak, dapat dipindahkan dan dapat dirusakkan seperti akad jual beli dan lain-lain.
·         Akad lazim yang menjadi hak salah satu pihak, seperti rahn, orang yang menggadai sesuatu benda punya kebebasan kapan saja ia akan melepaskan rahn
•  Akad lazimah yang menjadii hak kedua belah pihak tanpa menunggu persetujuan salah satu pihak. Seperti titipan boleh diambil orang yang menitip dari orang yang dititipi tanpa menungguu persetujuan darinya. Begitupun sebalikanya, orang yang dititipi boleh mengembalikan barang titipan pada orang yang menitipi tanpa harus menunggu persetujuan darinya.
i. Berdasarkan tukar menukar hak
•  Akad mu'awadhah, yaitu akad yang berlaku atas dasar timbal balik seperti akad jual beli
•  Akad tabarru'at, yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar pemberian dan pertolongan seperti akad hibah.
•  Akad yang tabaru'at pada awalnya namun menjadi akad mu'awadhah pada akhirnya seperti akad qarad dan kafalah.
j. Berdasarkan harus diganti dan tidaknya
•  Akad dhaman, yaitu akad yang menjadi tanggung jawab pihak kedua setelah benda-benda akad diterima seperti qarad.
 •  Akad amanah, yaitu tanggung jawab kerusakan oleh pemilik benda bukan, bukan oleh yang memegang benda, seperti titipan.
•  Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, salah satu seginya adalah dhaman dan segi yang lain merupakan amanah, seperti rahn.
k. Berdasarkan tujuan akad
•  Tamlik: seperti jual beli
•  Mengadakan usaha bersama seperti syirkah dan mudharabah
•  Tautsiq (memperkokoh kepercayaan) seperti rahn dan kafalah
•  Menyerahkan kekuasaan seperti wakalah dan washiyah
•  Mengadakan pemeliharaan seperti ida' atau titipan
l. Berdasarkan faur dan istimrar
•  Akad fauriyah, yaitu akad-akad yang tidak memerlukan waktu yang lama, pelaksaaan akad hanya sebentar saja seperti jual beli.
•  Akad istimrar atau zamaniyah, yaitu hukum akad terus berjalan, seperti I'arah .
m. Berdasarkan asliyah dan tabi'iyah
•  Akad asliyah yaitu akad yang berdiri sendiri tanpa memerlukan adanya sesuatu yang lain seperti jual beli dan I'arah.
•  Akad tahi'iyah, yaitu akad yang membutuhkan adanya yang lain, seperti akad rahn tidak akan dilakukan tanpa adanya hutang.